buku ahlussunnah wal jamaah pdf

4KITAB KUNING MAKNA ala PESATREN. Download Kitab Aqidatul Awam Pdf 275l. 7 KITAB KUNING KHUSUS ANDROID dan HP java. Kitab Aqidatul Awam merupakan kitab yang berisi sejumlah Syair Nadzom tentang ilmu tauhid Ahlussunnah wal Jamaah. Download Terjemah Kitab Aqidatul Awam Description. Posted on 7 April 2018 11 April 2018 by Masyfuq. AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH) .. Membuka format .pdf dengan Adobe Reader .. Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan Ijtihad ; Download : .I'TIQAT AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH - scribd.comDownload as PDF, TXT or read online .. Buku I'tiqad Ahlussunnah wal Jamaah yang mulai ditulis oleh beliau pada .. 18 t9 .Aqidah Download Ebook Islam Laman 18.. BeliBuku Prinsip Moderat Paham Ahlussunnah Wal Jamaah Aswaja by Abu Yasid. Harga Murah di Lapak IFLEGMA. Pengiriman cepat Pembayaran 100% 4 ASWAJA AN - NAHDLIYAH : Ajaran Ahlussunnah Wa al - Jamaah yang Berlaku di Lingkungan Nahdlatul Ulama. 5. AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH : Aqidah, Syari'ah, Amaliyah. 6. KENALILAH AQIDAHMU : Wahai Pemilik Jiwa yang Tenang Kembalilah Pada Tuhanmu. Bukuini berisi tentang nilai keyakinan dan ajaran aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah An-Nahdliyyah (Aswaja An-Nahdliyah) beserta praktik amaliyah ibadah yang dimiliki oleh jamaah Nahdlatul Ulama.Buku ini merupakan rangkuman dari aneka pemikiran para ulama salaf dan kholaf dalam madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah AnNahdliyyah yang tertulis di berbagai kitab Site De Rencontre Gratuit Le Plus Efficace. Topics I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah - Sirajuddin Abbas Collection opensource Language English I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah - Sirajuddin Abbas Addeddate 2020-07-15 060404 Identifier itiqadahlisunnahwaljamaah Identifier-ark ark/13960/t70w7f96n Ocr ABBYY FineReader Extended OCR Page_number_confidence Pages 373 Ppi 600 Scanner Internet Archive HTML5 Uploader plus-circle Add Review comment Reviews There are no reviews yet. Be the first one to write a review. Alhamdulillah, hanya dengan kemudahan dari Allah sebuah buku kecil telah selesai diterjemah. Buku kecil ini menjelaskan akidah ahlussunnah wal jamaah secara global dan ringkas. Ditulis oleh Syaikh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani – semoga Allah menjaga beliau. Kitab berbahasa arab dari buku ini berjudul بيان عقيدة أهل السنة والجماعة ولزوم اتباعها Bayaan Aqidah Ahlissunnah wal Jama’ah wa Luzum Ittiba’iha. Semoga Allah memberikan pahala yang banyak bagi penulisnya, penerjemahnya, dan siapa saja yang menyebarkannya. Aamiiin… Link Download penjelasan-akidah-FULL-OK Diterbitkan oleh albamalanjy Ilmu adalah sumber kebaikan seluruhnya... Lihat semua pos dari albamalanjy Navigasi pos Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Vol. 3, No. 1, Februari 2019, hlm. 1-20Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah;Antara Imam al-Asyari dan Ibn TaymiyyahMuhammad Imdad Rabbani*Institut Agama Islam IAI Nurul Jadid, Probolinggoimdadr paper wants to highlight the distinct problem in understanding monotheism. That is the understanding that came from Abu al-Hasan al-Asy'ari with Ibn Taimiyyah. The emphasis of the discussion is located on whether the difference between the two in understanding tauhid has entered the realm of ushul aqeedah or not? Because of this difference, one of the followers called the other one out’ from ahl sunnah wa al-jama'ah. This problem is increasingly relevant to be discussed because both are often bumped into each other ; as if it could not come together otherwise there is no point of equality. On the one side Asy'ari inherits a thick kalam tradition, while on the other hand Ibn Taimiyyah tends to be critical of this tradition. For the second group, the kalam tradition is called too rational and is considered dangerous to interpreting the issue of aqeedah. Therefore, this paper specically wants to highlight some of the problems above, to a minimum of nding common ground while at the same time providing an alternative view that is often missed a lot of peopleKeywords Tauh}id, Abu Hasan al-Asy’ari, Ibn Taimiyyah, kalam tradition, ahl al-sunnah wa al-jama>’ahAbstrakMakalah ini ingin menyoroti problem distingsi dalam memahami tauhid. Yaitu pemahaman yang datang dari Abu al-Hasan al-Asy’ari dengan Ibn Taimiyyah. Titik tekan pembahasannya adalah terletak pada, apakah distingsi keduanya dalam memahami tauhid telah masuk kepada ranah ushul aqidah atau bukan? Karena perbedaan ini faktanya membuat pengikut salah satunya menyebut salah lainnya keluar dari sebutan ahl sunnah wa al-jama’ah. Problem ini semakin relevan untuk dibahas karena keduanya seringkali * Jl. KH. Zaini Munim Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia. Telp +62335 at TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani2dibentur-benturkan satu sama lain; seolah-olah tidak bisa disatukan dan tidak ada titik persamaan. Di satu sisi Asy’ari mewarisi tradisi kalam yang kental, sedang di sisi lainnya Ibn Taimiyyah cenderung kritis terhadap tradisi ini. Bagi golongan yang kedua, tradisi kalam disebut terlalu rasional dan dianggap berbahaya dalam menafsir persoalan aqidah. Oleh karena itu, makalah ini secara khusus ingin menyoroti beberapa problem di atas, untuk seminimalnya mencari titik temu sekaligus memberikan alternatif pandangan yang banyak dilewatkan banyak Kunci Tauh}id, Abu Hasan al-Asy’ari, Ibn Taimiyyah, tradisi kalam, ahl al-sunnah wa al-jama>’ahPendahuluanSalah satu persoalan yang saat ini menyibukkan umat Islam adalah berbagai perdebatan teologis yang diwarisi oleh generasi sebelumnya. Di antara banyak perdebatan yang seringkali memantik kontroversi adalah diskusi seputar konsep tauhid. Di kalangan umat Islam saat ini, yang disebut sebagai ahlussunnah wal jama’ah, terdapat sekurangnya dua pendekatan dalam mengelaborasi konsep tauhid. Pertama adalah mereka yang mewarisi tradisi ilmu kalam. Yang menjadi menarik adalah, bagi sebagian kalangan, ilmu kalam dianggap terlalu rasional dalam diskursus aqidah. Mereka dianggap mengabaikan pendekatan teks dalam pembahasan yang bersifat usuliyah; ditelusuri secara seksama, sebagian besar kelompok ini biasanya diidentikasi sebagai pengikut madzhab Abu al-Hasan al-Asy’ari w. 324/936, atau yang biasa dikenal dengan asya’irah dan sebagian lainnya adalah sebagai penganut madzhab Abu Mansur al-Maturidi w. 333/944 atau yang masyhur disebut maturidiyyah. Kedua, di sisi yang berbeda, terdapat golongan lain yang cenderung menjadi ”rekan kritis” dari pewaris tradisi kalam ini. Mereka, di masa klasik, adalah sebagian pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal w. 241/855, yang posisi teologisnya mendapat elaborasi dan pembelaan secara luas dan rasional dari seorang alim madzhab Hanbali abad ke delapan hijriah, yaitu Ibn Taymiyah w. 728/-1328. Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 3Dalam beberapa kesempatan, Syeikh Mushthafa Abd al-Raziq w. 1366/1947 menilai bahwa ”persaingan” kedua aliran pemikiran teologis ini menandai kebangkitan wacana teologi Islam Yang menjadi persoalannya adalah terkadang—untuk tidak mengatakan seringkali—perdebatan yang terjadi menyebabkan salah satu pihak menyalahkan, bahkan menyesatkan kawan bicaranya, tanpa terlebih dahulu menimbang apakah persoalan yang diperdebatkan termasuk di antara hal yang tidak boleh diperselisihkan atau sebaliknya. Dalam konteks inilah, diskusi mengenai konsep tauhid dalam pandangan al-Asy’ari dan Ibn Taymiyah menemukan relevansi dan urgensinya. Konsep ini dipilih mengingat sentralitasnya dalam Islam, yang kalau diingat-ingat kembali, seringkali menjadi alasan utama, kekuranghati-hatian dalam menilai, juga menjadi alat bagi tindakan takri pengkaran dan ini berusaha memaparkan bagaimana sebetulnya keduanya—baik Asy’ari maupun Ibn Taimiyyah—memformulasikan tauhid, dengan menguraikan persamaan dan perbedaannya, untuk kemudian menggarisbawahi bahwa secara umum perbedaan keduanya tidak sampai mengeluarkan keduanya dan pengikutnya dari ahlussunnah wa al-jama’ah. Untuk itu, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian ahlussunnah juga yang menjadi tolak ukurnya. Kemudian akan dibicarakan secara terpisah, konsep tauhid menurut al-Asy’ari dan Ibn Taymiyyah. Tulisan ini diakhiri dengan beberapa catatan mengenai perbandingan sekilas konsep tauhid menurut keduanya dan sikap yang seharusnya diambil oleh umat Islam sekarang. Pandangan keduanya dipaparkan sebisa mungkin menggunakan kutipan langsung, untuk meminimalkan penafsiran penulis. Khusus untuk al-Asy’ari, gagasan dari para pengikutnya akan juga dikutip dalam tema-tema yang tidak secara spesik dibicarakan oleh al-Asy’ari. Sedangkan bacaan terhadap Ibn Taymiyyah hampir seluruhnya didasarkan atas karya beliau 1 Mushthafa Abd al-Raziq, Tamh}īd lī Tārīkh al-Falsafah al-Islāmiyah, Beirut dan Kairo Dār al-Kitab al-Lubnani dan Dar al-Kitab al-Mishri, 2011, 429. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani4sendiri. Dengan demikian, tulisan ini adalah kajian deskriptif yang ditunjukan tidak untuk mengevaluasi pandangan tentang Ahl Sunnah wa al-Jama’ahSecara sederhana, sebutan Ahl Sunnah wa al-Jamā’ah mengandung penyandaran kepada dua hal; al-Sunnah dan al-Jamāah. Pengertian yang pertama adalah segala yang dinisbatkan pada Nabi SAW., baik berupa sabda, perbuatan, persetujuan, maupun sifat sik atau non- Tercakup pula di dalamnya adalah sunnah al-Khulafā’ Sedangkan makna al-Jamā’ah adalah ulama yang otoritatif pada setiap Dengan demikian, yang termasuk ahlu al-sunnah wa al-jama>’ah adalah mereka yang pemahaman dan pengamalan agamanya didasarkan pada pemahaman dan pengamalan para Sahabat, dan kemudian sebagaimana yang dipahami dan diamalkan oleh generasi kemudian secara berkelanjutan yang bersandar pada mata rantai keilmuan sanad yang tidak terputus5 dan sampai pada Nabi SAW, baik dalam pandangan dan pemahaman madzāhib maupun metode memahami manāhij al-Fahm wa al-Istinbāt}. Yang penting untuk ditekankan dalam hal ini adalah prinsip-prinsip interaksi intelektual dan kebudayaan dalam mengadopsi dan mengadapsi hal-hal baru yang ditemui terutama oleh tiga generasi istilah ahlussunnah wal jama’ah, terdapat beberapa ungkapan lain yang bermakna serupa yang juga digunakan dalam 2 Nur al-Din Itr, Manh}āj al-Naqd fī Ulūm al-H}adīts, Damaskus Dar al-Fikr, 1979, Abu Abd Allah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Mājah, Ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Beirut Dar al-Fikr, Jilid I, Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fath} al-Bāri Syarh} S}ah}īh} al-Bukhārī, Beirut Dar al-Ma’rifah, 1379, Jilid XIII, Tentang signikansi sanad, Abd Allah bin al-Mubarak, berkata ”Penyebutan sanad transmisi keilmuan adalah bagian dari agama; andaikan tidak ada klarikasi transmisi keilmuan, niscaya siapa saja bisa berbicara apa saja”, baca Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyayri, al-Jāmī al-S}ah}īh} al-Musammā S}ah}īh} Muslim, Beirut Dar al-Jil dan Dar al-Afaq al-Jadidah, Jilid I, 12. Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 5hadis, seperti al-Sawa>d al-az}ām,6 mā anā alayhi wa as}h}ābi,7 dan al-jamā Terma-terma ini menunjuk pada pengertian yang sama yaitu semua umat Islam yang mengikuti jejak Rasululah SAW. dan para Sahabat RA., yang merupakan mayoritas umat Islam dalam setiap masa. Seperti yang diindikasikan oleh jawaban Imam Malik RA. w. 179/795 ketika ditanya tentang ahlu al-sunnah wa al-jama>’ah, ”mereka yang tidak punya sebutan tertentu, bukan Jahmi, bukan Qadari, dan juga bukan Radli.”9 Artinya, mereka adalah mayoritas umat Islam yang pemahaman agamanya diwarisi dari generasi sebelumnya dengan silsilah sanad yang sampai pada Nabi SAW. dan para Sahabat RA., bukan mereka yang membuat pandangan atau cara berpikir yang tidak dikenal oleh generasi sebelumnya, yang membuat mereka terpencil dari sebagian besar umat konteks ini, yang perlu dipahami adalah distingsi antara dalil yang bersifat pasti qat}iyyāt dan yang tidak z}anniyyāt. Yang pertama adalah yang disepakati para Sahabat ra. yang pasti berlandaskan Wahyu, sedangkan yang kedua berada dalam wilayah yang diperselisihkan oleh para Sahabat maupun ulama sesudah mereka; karena ketiadaan dalil yang bersifat pasti makna dan 6 Abu al-Qasim Sulayman bin Ahmad al-Thabarani, al-Mujam al-Awsat}, Ed. Thariq bin Iwadl Allah bin Muhammad, Kairo Dar al-Haramayn, 1415, Jilid VII, 175; Abu al-Qasim Sulayman bin Ahmad al-Thabarani, al-Mujam al-Kabīr, Ed. Hamdi bin Abd al-Majid al-Sala, Mosul Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam, 1983, Jilid VIII, 152, 268, 274. Abu Abd Allah Muhammad bin Yazid al-Qazwini, Sunan Ibn Mājah, Jilid II, Abu Isa Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmīdzī, Ed. Ahmad Muhammad Syakir, et al., Beirut Dar Ihya al-Turaats al-Arabi, Jilid V, Abu Abd Allah Ahmad bin Hanbal al-Syaybani, Musnad al-Imām Ah}mad bin H}anbal, Kairo Muassasah Qurthubah, Jilid IV, 102. Lihat juga; Abu Dawud Sulayman bin al-Asyats al-Sijistani, Sunan Abī Dāwud, Beirut Dar al-Kitab al-Arabi, Jilid IV, Abu Umar Yusuf bin Abd al-Barr, al-Intiqā’ fī Fad}ā’il al-A’immah al-Tsalātsah al-Fuqahā’, Ed. Abd al-Fattah Abu Ghuddah, Aleppo dan Beirut Maktab al-Mathbuat al-Islamiyah dan Dar al-Basya’ir al-Islamiyah, 1997, 72. Bandingkan dengan pernyataan Ibn Katsir; bahwa Ahlussunnah wa al-Jama’ah adalah mayoritas umat Islam dalam Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi, al-Nihāyah fī al-Fitan wa al-Malāhīm, Ed. Muhammad Ahmad Abd al-Aziz, Beirut Dar al-Jil, 1988, Jilid II, 36. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani6transmisinya sekaligus qat}iy al-dalālah wa al-wurūd.10 Dengan demikian, al-Qur’an dan Hadis, sebagai sumber utama dalil dalam Islam perlu dimengerti dalam matriks qat}iy-z}annīy dan dalālah-wurūd. Walhasil, dengan demikian, ayat al-Qur’an maupun hadis yang bersifat pasti transmisi dan maknanya qat}īy al-wurūd wa al-dalālah adalah satu-satunya jenis dalil; dalam kerangka ini, yang menghasilkan produk yang tidak boleh diperselisihkan dan harus disepakati, baik dalam masalah keyakinan maupun amaliah. Sementara tiga jenis dalil yang lain—yang pasti maknanya, namun tidak pasti transmisinya; yang tidak pasti maknanya, namun pasti jalur transmisinya; dan yang tidak pasti makna dan transmisinya secara umum, berpeluang untuk dipahami secara berbeda. Dengan ungkapan lain, di sini ia tidak bisa dipahami secara tunggal; maka menghendaki pemahaman yang Menurut Imam Abu al-Hasan al-Asy’ariDalam pemaparannya mengenai aqidah ashhāb al-hadīts dan ahl al-sunnah, Al-Asy’ari menulis ”bahwa Allah SWT. Tuhan Yang Esa Wahid, Tunggal Fard, Maha Mutlak Shamad tidak ada tuhan selain-Nya.”11 Pengertian tauhid menurut al-Asy’ari dielaborasi lebih lanjut oleh Ibn Furak w. 406/1015, yang meringkas pandangan-pandangan al-Asy’ari, dengan menyatakan bahwa makna wahid dan ahad adalah menyendiri yang berarti penaan terhadap yang menyamai dalam dzat, perbuatan dan sifat, ”karena Dia dalam Dzat-Nya tidak terbagi, dalam Sifat-Nya tidak ada yang menyamai, dan dalam pengaturan-Nya tidak ada sekutu”.12 Lebih lanjut Imam al-Haramayn 10 Muhammad Naim Muhammad Hani Sai, al-Qānūn fī Aqāid al-Firaq wa al-Madzāhib al-Islāmiyyah, Kairo Dar al-Salam, 2007, Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Mus}allīn, Ed. Muhammad Muhy al-Din Abd al-Hamid, Beirut al-Maktabah al-Ashriyah, 1990, Jilid I, 345. Pernyataan serupa juga dapat ditemukan dalam; Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, al-Ibānah an Us}ūl al-Diyānah, Ed. Fawqiyah Husayn Mahmud, Abidin Dar al-Anshar, 1977, Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan bin Furak, Mujarrad Maqālāt al-Syaikh Abī al-H}asan al-Asyāri, Ed. Daniyal Jimarih, Beirut Dar al-Masyriq, 1978, 55. Dalam Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 7w. 478/1085 menegaskan bahwa makna tauhid adalah meyakini keesaan Allah, yang penjelasannya ditujukan untuk membuktikan secara argumentatif keesaan Allah SWT. dan bahwa tidak ada Tuhan membuktikan keesaan Allah SWT. al-Asy’ari menggunakan argumentasi rasional yang didasari atas ayat al-Qur’an. Misalnya, ketika menjabarkan konsep tauhid, al-Asy’ari terlebih dahulu mengutip surah al-Syura ayat 11 dan surah al-Ikhlas ayat 4 yang dilanjutkan dengan argumentasi rasional berdasarkan dua ayat di Dalam bukunya yang lain, al-Asy’ari memaparkan terlebih dahulu pembuktian mengenai keesaan Allah SWT. dan kemudian diakhiri dengan kutipan surah al-Anbiya’ ayat Pendekatan yang digunakan al-Asy’ari dalam memaparkan argumentasi pembuktian tauhid dan aspek aqidah yang lain, dengan demikian, menggabungkan dalil tekstual dan penalaran rasional. Suatu hal yang kemudian menjadi ciri al-Asy’ari mengenai konsep tauhid dapat dibagi ke dalam tiga aspek; Dzāt, S}ifāt dan Afāl perbuatan.16 Yang pertama bermakna bahwa Allah SWT. Esa dalam dzat-Nya dan tidak menyerupai sesuatu apapun selain-Nya. Hujah untuk hal ini adalah al-Qur’an surah al-Syura ayat 11 dan surah al-Ikhlas ayat beberapa karya al-Asy’ari sendiri terdapat penjelasan mengenai beberapa aspek tauhid ini, yang kemudian dijabarkan lebih luas oleh para pengikutnya. Mengenai tauhid Dzāt misalnya, al-Asy’ari menulis bahwa ”Dia SWT. tidak menyerupai alam sama sekali” dan kemudian dilanjutkan dengan penjabaran argumentasi yang mendukung pernyataannya dengan mengutip dari beberapa ayat al-Quran dan argumentasi rasional. Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Risālah ilā Ahl al-Tsaghīr, Ed. Abd Allah Syakir Muhammad al-Junaydi, al-Madinah al-Munawwarah Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2002, 210-212. Bandingkan dengan; Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Kitāb al-Luma fī al-Radd alā Ahl al-Zaygh wa al-Bidā, Ed. Hamudah Gharabah, Mathbaah Mishr Syirkah Musahamah Mishriyah, 1955, Imam al-Haramayn al-Juwayni, al-Syāmil fī Us}ūl al-Dīn, Ed. Ali Sami al-Nasysyar, Fayshal Budayr Awn dan Suhayr Muhammad Mukhtar, Iskandariyah Mansyaah al-Maarif, 1969, Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Risālah ilā Ahl al-Tsaghīr…, Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Kitab al-Luma  al-Radd ala..., Pembagian ini yang kemudian dikenal di kalangan pengikut madzhab al-Asy’ari. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani84 yang dilanjutkan dengan penalaran rasional bahwa keserupaan dengan makhluk akan berkonsekuensi kebaharuan dan kebutuhan terhadap pencipta atau berkonsekuensi dahulunya makhluk yang menyerupainya, di mana keduanya mustahil Singkatnya, tauhid dzat adalah mengesakan Allah SWT. dalam dzat-Nya tidak tersusun dari elemen-elemen; internal maupun eksternal, dan tidak ada yang menyamai dan menyerupai kedua adalah tawh}id al-s}ifāt, yang berarti bahwa sifat ketuhanan adalah sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an dan Hadis, yang armasi terhadapnya sama sekali tidak menimbulkan penyerupaan tasybīh, karena Sifat-Nya tidak seperti sifat makhluk, sebagaimana Dzat-Nya tidak seperti dzat Sifat-sifat ini bukanlah sesuatu yang baharu muh}dats atau menyerupai sifat sesuatu yang baharu, karena yang demikian akan berkonsekuensi tiadanya sifat itu sebelum ia ada, yang mengeluarkannya dari ketuhanan. Salah satu konsekuensi dari tauhid sifat adalah penaan terhadap penggambaran takyīf. Al-Asy’ari menegaskan bahwa Ahlussunnah bersepakat untuk ”menyifati Allah SWT. dengan seluruh sifat yang diatribusikan oleh-Nya dan utusan-Nya, tanpa penentangan, tanpa penggambaran, dan bahwa beriman terhadapnya adalah wajib, dan meninggalkan penggambaran adalah keharusan.”19 Pendeknya, al-Asy’ari mendasarkan pandangannya dalam masalah ini adalah ayat al-Qur’an dan Hadis, dengan menghindari penyerupaan tasybīh.Selanjutnya adalah tawh}īd al-afāl, yang mengandung pengertian bahwa yang pencipta segala sesuatu adalah Allah SWT. dan bahwa perbuatan makhluk diciptakan Al-Baqillani w. 402/1013 mengelaborasi lebih lanjut pengertian tauhid ini ketika menafsirkan surah al-Buruj ayat 16 dengan menekankan bahwa Allah Swt adalah yang mencipta seluruh perbuatan hamba 17 Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Risālah ilā Ahl al-Tsaghīr…, Ibid., Ibid..., Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Al-Ibānah an Us}ūl al-Diyānah…, 23; Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Maqalāt al-Islamiyyīn ..., Jilid I, 346. Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 9dan seluruh peristiwa Penekanan dari tauhid ini adalah kemutlakan kekuasaan Allah Swt, sehingga Dialah satu-satunya yang menciptakan segala uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tauhid dalam pandangan al-Asy’ari bermakna mengesakan Allah SWT. dalam Dzat, Sifat dan Perbuatan-Nya. Artinya bahwa Allah adalah Maha Esa dalam dalam berbagai dimensi dari ketiga aspek tadi. Argumen yang digunakan al-Asy’ari didasarkan atas ayat al-Qur’an maupun Hadis yang dielaborasi secara Menurut Imam Ibn TaymiyyahIbn Taymiyyah menekankan bahwa tauhid yang wajib adalah tauhid ulūhiyyah yang bermakna ”menyembah Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, sehingga ketaatan seluruhnya menjadi milik-Nya, dan tidak takut kecuali pada Allah, tidak berdoa kecuali pada Allah, dan Allah menjadi yang paling dicintai seorang hamba daripada segala sesuatu, sehingga mereka mencintai karena Allah, membenci karena Allah, menyembah kepada Allah dan berpasrah pada-Nya.”22 Pengertian tauhid ini memiliki dua aspek, keyakinan itiqādi dan praktis amali. Yang pertama disebut tawh}īd al-marifah wa al-itsbāt,23 sedangkan yang kedua, tawh}īd al-ibādah, yang lebih lanjut lagi didenisikan oleh Ibn Taymiyyah sebagai ”menyatakan tah}qīq kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah [dengan] bermaksud Allah dengan ibadah dan menghendaki-Nya dengan ibadah itu bukan selain-Nya.”24 21 Abu Bakr Muhammad bin al-Thayyib bin al-Baqillani, Kitāb al-Tamh}īd, Ed. Richard Joseph McCarthy, Beirut al-Maktabah al-Syarqiyah, 1957, Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Minhāj al-Sunnah al-Nabawiyah, Ed. Muhammad Rasyad Salim, Muassasah Qurthubah, Jilid III, Abu Abd Allah Muhammad bin Abi Bakr ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, Madārij al-Sālikīn bayna Manāzīl Iyyāka Nabudu wa Iyyāka Nastaīn, Ed. Muhammad Hamid al-Faqi, Beirut Dar al-Kitab al-Arabi, 1973, Jilid III, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Fatāwā al-Kubrā, Ed. Muhammad Abd al-Qadir Atha dan Mushthafa Abd al-Qadir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1987, Jilid VI, 566. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani10Sedangkan ibadah sendiri didenisikan oleh Ibn Taymiyyah sebagai ”nama untuk semua yang dicintai dan diridlai Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, lahir maupun batin.”25 Reformulasi yang demikian ditujukan sebagai kritik atas formulasi mereka yang disebut ”al-mubtadiūn fī al-tawh}īd min ahl al-kalām”26 yang menurut Ibn Taymiyyah membatasi, makna ketuhanan ilāhiyyah pada sifat mencipta al-khalq, kuasa al-qudrah, dahulu al-qidām dan semacamnya, seraya abai pada esensi tauhid yang berupa pengesaan Allah dalam ibadah dan mengakibatkan mereka terjerumus dalam kesyirikan yang menakan lebih terperinci, Ibn Taymiyyah membagi tauhid ke dalam tiga jenis, al-rubūbiyah, al-ulūhiyah dan al-asmā’ wa al-s}hifāt. Yang pertama bermakna meyakni bahwa Allah SWT. adalah ”Pencipta segala sesuatu, Tuhannya Rabbuhu, Pemiliknya, tidak ada pencipta selain-Nya... Segala apa yang ada, gerakan maupun diam, adalah dengan ketentuan, ketetapan, kehendak dan cipta-Nya.”28 Hal ini didasarkan atas ana-lisis terhadap kata al-Rabb yang dimaknai sebagai ”yang menghidup-kembangkan yurabbī hamba-Nya, memberi bentuk kemudian memberi petunjuknya pada semua keadaannya, ibadah atau lainnya.”.29 Ringkasnya, tauhid ini dapat dibagi ke dalam dua kategori, kemutlakan kekuasaan Allah SWT. dan kesempurnaan kasih sayang dan Tauhid rubūbiyyah ini, dari aspek tertentu, paralel dengan tauhid afāl sebagaimana yang dijabarkan al-Asy’ari. Keduanya merupakan konseptualisasi dari Tuhan dalam kemutlakan Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Ubūdiyah, Ed. Muhammad Zuhayr al-Syawiys, Beirut al-Maktab al-Islami, 2005, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Fatāwā al-Kubrā, Jilid VI, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Furqān bayna Awliyā’ al-Rahmān wa Awliyā’ al-Syayt}hān, Ed. Abd al-Rahman bin Abd al-Karim al-Yahya, Riyadl Maktabah Dar al-Minhaj, 1428, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Majmū’ al-Fatāwā, dicetak atas perintah Raja Fahd bin Abd al-Aziz, Ed. Abd al-Rahman bin Qasim, 1398, Jilid I, 21-2230 Ibid, Jilid II, 398-401 Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 11Yang kedua adalah tauhid ulūhiyah, yang didenisikan sebagai penyembahan pada Allah tanpa Karenanya, seseorang yang meyakini Allah SWT. sebagai pengatur dan pencipta segala sesuatu al-Rabb tapi menyembah yang lain, adalah orang menyekutukan Tuhan musyrik dalam penyembahan Karena kata al-Ilāh bermakna ”yang dipertuhan dan disembah dengan cinta, kepasrahan, pengagungan dan penghormatan”33 yang berhubungan dengan perintah dan larangan, cinta, takut dan harapan, sedangkan kata al-Rabb bermakna ”yang menghidup-kembangkan yurabbī hamba-Nya, memberi bentuk kemudian memberi petunjuknya pada semua keadaannya, ibadah atau lainnya”34 yang berkonsekuensi kepasrahan dan penyerahan Tauhid ulūhiyah, dengan demikian, adalah tauhid ibadah, karena yang dipertuhan al-ma’lūh adalah yang disembah al-mabūd.36 Ibn Taymiyyah menegaskan sentralitas tauhid ulūhiyah atau tauhid ibadah ini dengan menyatakan bahwa tauhid inilah yang ”didakwahkan oleh al-Quran dari pertama hingga terakhir dan semua kitab suci dan para utusan”37 dan juga ”jantung keimanan dan awal serta akhir Islam”.38 Yang termasuk dalam pengertian ibadah, sesuai dengan denisi Ibn Taymiyyah, adalah ”semua kekhususan Tuhan, maka tidak boleh ditunduki selain-Nya, tidak boleh ditakuti se-lain-Nya, tidak boleh dipasrahi selain-Nya, tidak boleh dijadikan objek doa selain-Nya, 31 Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Syarh} al-Aqīdah al-Ashāniyah, Ed. Ibrahim Saiday, Riyadl Maktabah al-Rusyd, 1415, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Fatāwā al-Kubrā, Jilid VI, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Majmū al-Fatāwā, Jilid I, 21-2234 Ibid, Jilid I, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Majmūah al-Rasā’il wa al-Masā’il, Ed. Muhammad Rasyid Ridla, Lajnah al-Turats al-Arabi, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Majmū al-Fatāwā, Jilid I, 55. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani12tidak boleh sholat pada selain-Nya, tidak boleh puasa karena selain-Nya, tidak boleh bersedekah kecuali karena-Nya, tidak boleh dikunjungi untuk berhaji kecuali rumah-Nya.”39 Bagi Ibn Taymiyyah, tauhid ulūhiyah berarti bahwa ibadah—segala perbuatan lahir batin yang diridloi Allah Swt—hanya boleh ditujukan kepada Allah konsep tauhid ulūhiyah ini, Ibn Taymiyyah mengritik ulama kalam yang dalam pandangannya, membatasi pembahasan tauhid pada tauhid rubūbiyah, seraya abai terhadap tauhid ulūhiyah, yang justru merupakan inti dari tauhid itu sendiri. Kesalahan ini menggiring pada kesalahan yang lain, di antaranya anggapan mereka bahwa orang yang meyakini Allah SWT. sebagai satu-satunya yang mampu mencipta alam dianggap telah bersyahadat, padahal kemampuan mencipta bukanlah makna dari al-Ilāh, melainkan Untuk membuktikan bahwa tauhid rubūbiyah tidak cukup, Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa kaum musyrikin Arab mengakui keesaan Allah SWT. dalam menciptakan langit dan bumi, tapi itu tidak mengeluarkan mereka dari kesyirikan,41 karena mereka menyekutukan-Nya dalam ketiga adalah tauhid al-asmā’ wa al-sifāt. Maknanya adalah mengesakan Allah dengan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya sebagaimana diriwayatkan dalam al-Qur’an dan hadis; dengan mengarmasi penjelasan dalam al-Qur’an dan hadis dan menegasikan segala yang berlawanan dengan kemahasempurnaan 39 Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Rādd alā al-Akhnā’i wa Is}tih}bāb Ziyārah Khayr al-Bariyyah, Ed. Abd al-Rahman bin Yahya al-Muallimi al-Yamani, Kairo al-Mathbaah al-Salayah, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Tadāmmuriyah Tah}qīq al-Itsbāt} lī al-Asmā’ wa al-Sifāt wa H}aqīqah al-Jam bayna al-Qadār wa al-Syar. Ed. Muhammad bin Awdah al-Suudi, Riyadl Maktabah Obeikan, 2000, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Qaīdah Jalīlah fī al-Tawassul wa al-Wasīlah, Ed. Rabi bin Hadi Umayr al-Madkhali, Ujman Maktabah al-Furqan, 2001, 264. Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 13Allah. Tauhid ini menafikan penggambaran sifat takyīf, pengingkaran sifat ketuhanan tat}īl, penafsiran dalil dengan makna yang salah tah}rīf, penyerupaan dengan sifat makhluk tamtsīl.42 Tauhid ini, secara ringkas, adalah mengimani semua Nama-nama dan Sifat-sifat Allah SWT. tanpa penggambaran, penyerupaan dan penyelewengan Abu Hasan al-Asy’ari dan Ibn Taymiyyah Sebuah Catatan KritisElaborasi al-Asy’ari terhadap konsep tauhid merupakan respon terhadap situasi teologis-intelektual zamannya; ketika banyak aliran-aliran yang menyimpang dalam aqidah. Hal ini terlihat dari cara pemaparan istilah tauhid dalam kitab-kitab al-Asy’ari yang mayoritas merupakan tanggapan terhadap berbagai pandangan teologis yang menyimpang saat itu. Beberapa yang dapat disebut, di samping yang telah dikutip sebelumnya, di antaranya diskusi mengenai konsep tauhid dalam kitab al-Ibānah yang ditujukan sebagai respon terhadap golongan Hal yang sama dapat ditemukan dalam kitabnya yang lain, al-Maqālāt, di mana terma tauhid didiskusikan untuk membantah pandangan syīah rafīdlah, khawārij, murji’ah dan mu Berbeda dengan al-Asy’ari, Ibn Taymiyyah yang hidup kurang lebih lima abad sesudah al-Asy’ari, berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengkonseptualisasi tauhid secara lebih rinci dan sistematis. Hal ini didorong pula oleh apa yang dipandang Ibn Taymiyyah sebagai korupsi dalam bidang aqidah yang disebabkan oleh penggunaan rasio yang, dalam pandangan Ibn Taymiyyah, yang 42 Muhammad bin Khalil Hasan Harras, Syarh} al-Aqīdah al-Wāsit}hiyyah, Ed. Alawi bin Abd al-Qadir al-Saqqaf, al-Khabar Dar al-Hijrah li al-Nasyr wa al-Tawzi, 1415, Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, al-Ibānah ..., Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asyari, Maqalāt al-Islāmiyyīn ..., Jilid I, 109, 124, 185, 186, 223, 224, 235, 236. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani14selain tidak proporsional,45 juga terinltrasi lsafat dalam ilmu Bahkan secara terperinci, Ibn Taymiyyah memaparkan bantahannya terhadap konsep tauhid ulama kalam yang dibagi dalam aspek dzāt, sifāt dan af Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dilakukan Ibn Taymiyyah adalah usaha untuk memperbaiki apa yang dipandang sebagai penyimpangan dalam wacana teologis ahlussunnah wal Walaupun sejumlah pandangan Ibn Taymiyyah memunculkan kritik dari berbagai ulama yang sezaman maupun yang hidup sesudahnya. Dinamika seperti ini adalah sesuatu yang wajar dan harus disikapi dengan tepat dan beberapa perbedaan yang dapat dicatat dari perbandingan kedua konsep tauhid di atas. Di antaranya adalah perbedaan keduanya dalam formulasi tauhid. Konsep tauhid Al-Asy’ari, yang dalam pembentukannya lebih banyak merespon kemunculan aliran-aliran non ahlussunnah saat itu, lebih bersifat intelektual-rasional; suatu kecenderungan yang diwarisi oleh pengikutnya. Ibn Taymiyyah, di sisi lain, yang menerima warisan keilmuan yang lebih lengkap dan bereaksi terhadap dinamika yang ada pada zamannya, membangun konsep tauhidnya secara relatif lebih detail dan lengkap, dengan mengaitkan aspek kognitif dan Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Tadāmmuriyah ..., Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Minhāj al-Sunnah ..., Jilid III, Taqiy al-Din Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, al-Tadāmmuriyah ..., Hal ini, bagaimanapun, bukan tanpa kritik balik. Sebaliknya, kritik dari ulama ahlussunnah sendiri telah muncul di masa hidupnya, yang beberapa kali melibatkannya dengan konik terbuka dengan beberapa kalangan ulama. Tentang beberapa peristiwa kontroversial dalam hidup beliau baca misalnya; Abu al-Fadl Ahmad bin Ali ibn Hajar al-Asqalani, al-Durar al-Kāminah fī Ayān al-Mi’ah al-Tsāminah, Ed. Muhammad Abd al-Muid Dlan, Hayderabad Majlis Da’irah al-Maarif al-Utsmaniyah, 1972, Jilid I,. Di luar lingkaran Ibn Taymiyyah, aspek praktis ini merupakan wilayah tasawuf; yang bermakna pengamalan syariat dalam maqam ihsan, berkulminasi pada tahapan tertinggi tauhid. Tentang denisi tasawuf silakan baca; Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur ISTAC, 1993, 121-122. Sedang tentang Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 15Perbedaan lainnya dapat dilihat dari cara pandang terhadap hubungan antara kata al-ilāh dan al-rabb. Konsep tauhid al-Asy’ari dan para pengikutnya menegaskan bahwa keduanya memiliki makna dasar berbeda tapi memiliki pengertian madlūl yang sama sehingga tidak terbayangkan mengimani salah satunya beserta pengingkaran terhadap salah lainnya. Ringkasnya, setiap yang beriman terhadap keesaan Allah SWT. sebagai al-rabb di saat yang sama pasti beriman kepadaNya sebagai al-ilāh. Al-Taftazani w. 792/1390, misalnya, menulis ”hakikat tauhid adalah meyakini ketiadaan sekutu [bagi Allah SWT.] dalam ketuhanan ilahiyah dan kekhususannya. Dan tidak ada pertentangan antara umat Islam bahwa pengaturan alam semesta, penciptaan jasad, keharusan disembah istih}qāq al-ibādah dan dahulunya sifat yang ada pada Dzat-Nya semuanya adalah di antara kekhususan [sifat ketuhanan]”.50 Dalam pernyataan ini, al-Taftazani menekankan bahwa pengaturan alam dan penciptaan—yang menurut Ibn Taymiyyah merupakan tauhid rubūbiyah—dan keharusan disembah—yang menurut Ibn Taymiyyah merupakan tauhid ulūhiyah—adalah satu kesatuan, keimanan terhadap salah satunya memustahilkan pengingkaran pada yang Salah satu argumen yang untuk membuktikan hal ini adalah surah Ali Imran ayat 80, al-Naml ayat 25 dan al-Syuara ayat 97 dan 98. Di sisi lain, Ibn Taymiyyah menekankan sentralitas tauhid ulūhiyah, seraya menggambarkan tingkatan-tingkatan tauhid baca; Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ih}yā’ Ulūm al-Dīn, Beirut Dar al-Marifah, Jilid IV, Sad al-Din Masud bin Umar al-Taftazani, Syarh al-Maqashid, Ed. Abd al-Rahman Umayrah, Beirut Alam al-Kutub, 1998, Jilid IV, Bandingkan dengan pernyataan Ibn Abi Syarif yang secara lebih tegas menjelaskan hubungan ulūhiyah dan rubūbiyah; dia menulis ”Ulūhiyah adalah memiliki Sifat-sifat [tertentu] yang karenanya Dia Swt wajib disembah, yaitu Sifat-sifat yang hanya menjadi milik-Nya Swt, maka tidak ada sekutu bagi-Nya di dalamnya. [Sifat-sifat itu] dinamakan kekhususan ketuhanan khawash al-uluhiyah, yang diantaranya adalah menciptakan dari tiada, pengaturan alam, ...”, Kamal al-Din Muhammad ibn Muhammad Ibn Abi Syarif al-Maqdisi, al-Musāmarah fī Syarh} al-Musāyarah, Kairo al-Maktabah al-Azhariyah li al-Turats, 2006, Jilid I, 62. Dalam kutipan ini, ditegaskan bahwa pengesaan dalam kewajiban disembah ibādah/tawh}īd ulūhiyah merupakan konsekuensi dari pengesaan dalam penciptaan dan pengaturan alam. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani16kemungkinan keterpisahannya secara praktis dari tauhid rubūbiyah, dengan, misalnya, mengutip kasus kaum musyrikin yang, dalam pandangan Ibn Taymiyyah, bertauhid hanya dengan tauhid rubūbiyah saja, seraya berargumen dengan surah Luqman ayat 25 dan surah al-Mu’minun ayat 86 dan demikian, salah satu perbedaan penting dalam konsep tauhid kedua madzhab ini adalah sebetulnya hanya berkisar dalam memandang hubungan antara tauhid ulūhiyah dan rubūbiyah; tidak kurang dan tidak lebih. Di satu sisi; Al-Asy’ari dan pengikutnya menjadikan keduanya saling melekat dan menyatu, sehingga sama sekali tidak terbayangkan apabila seseorang yang mengimani salah satunya dan mengingkari salah lainnya. Sedangkan di sisi yang lainnya; bagi Ibn Taymiyyah sendiri, setiap orang yang bertauhid ulūhiyah maka akan sekaligus juga bertauhid rubūbiyah, tapi tidak dengan bentuk sebaliknya. Di sini bila yang dilihat hanya diaspek ini saja, maka keduanya tampak berbeda dan saling demikian di luar itu, sejatinya terdapat beberapa poin yang disepakati oleh keduanya dalam persoalan tauhid. Di antaranya, secara umum keduanya sepakat mengimani semua berita yang datangnya dari al-Qur’an dan Hadis yang mendeskripsikan Sifat Allah SWT. ini penting untuk diketahui sebab, tanpa hal itu berimplikasi pada penyamaan Allah SWT pada makhluk. Keduanya juga sepakat bahwa Allah SWT Maha Esa, tak ada yang menyerupai-Nya dalam Sifat dan Nama-Nya, tak ada yang membantunya dalam mencipta dan mengatur seluruh makhluk. Di samping hal-hal lain yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis yang pasti makna dan transmisinya qat}hīy al-dalālah wa al-wurūd. Hal-hal semacam inilah yang semestinya menjadi pegangan bersama, dipelajari dan diamalkan bersama oleh semua Muslim, baik yang awam maupun 52 Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad bin Abdul Halim ibn Taymiyyah, Minhāj al-Sunnah ..., Jilid III, 171. Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 17yang alim. Adapun persoalan lain yang tidak bersifat demikian semestinyalah hanya dibicarakan oleh mereka yang otoritatif di bidangnya atau para pencari ilmu yang sungguh-sungguh. Melakukan sebaliknya dapat menimbulkan apa yang seringkali kita saksikan sepanjang sejarah umat Islam hingga hari ini, yakni ketegangan bahkan permusuhan yang disebabkan oleh perdebatan orang-orang yang tidak dalam membaca dan menimbang pandangan para ulama, selayaknya seorang Muslim bersikap adil dan beradab, yang salah satunya adalah dengan menjadikan yang pasti benar qat}hiīy al-dalālah wa al-wurūd min al-Kitāb wa al-Sunnah sebagai pemersatu umat Islam, sekaligus menjadikan para ulama yang otoritatif sebagai pihak yang berhak berbicara di wilayah selainnya. Sekali lagi, hal ini untuk menghindari potensi perpecahan yang amat mungkin timbul dari penekanan yang tidak proporsional terhadap aspek zhanniyāt dari agama dengan keterlibatan orang awam. Tentu saja hal ini tidak berarti meniadakan perbedaan. Sebaliknya, perbedaan bukan saja terjadi tapi juga merupakan bagian integral dari sejarah panjang umat Islam. Lebih jauh lagi, beberapa peristiwa di zaman Nabi SAW. menunjukkan bahwa beberapa bentuk perbedaan pemahaman, yang berakibat perbedaan perbuatan, bukan hanya terjadi, tapi juga diizinkan. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa perbedaan itu harus muncul dari ijtihad seorang ulama yang punya otoritas untuk berijtihad.[]Daftar PustakaAbd al-Barr, Abu Umar Yusuf. 1997. Al-Intiqā’ fī Fad}ā’il al-A’immah al-Tsalātsah al-Fuqahā’. Ed. Abd al-Fattah Abu Ghuddah. Aleppo dan Beirut Maktab al-Mathbuat al-Islamiyah dan Dar al-Basya’ir al-Raziq, Mushthafa. 2011. Tamh}īd lī Tarīkh al-Falsafah al-Islāmiyah. Beirut dan Kairo Dar al-Kitab al-Lubnani dan Dar al-Kitab al-Mishri. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani18Abi Syarif al-Maqdisi, Kamal al-Din Muhammad ibn Muhammad Ibn. 2006. Al-Musāmarah fī Syarh} al-Musāyarah. Jilid I. Kairo al-Maktabah al-Azhariyah li Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Fath} al-Bāri Syarh} S}ah}īh} al-Bukhārī. Jilid XIII. Beirut Dar al-Ma’rifah. _____. 1972. Al-Durar al-Kāminah fī Ayān al-Mi’ah al-Tsāminah. Ed. Muhammad Abd al-Muid Dlan. Jilid I. Hayderabad Majlis Da’irah al-Maarif al- Abu al-Hasan Ali bin Ismail. 1955. Kitab al-Luma  al-Radd ala Ahl al-Zaygh wa al-Bida. Ed. Hamudah Gharabah. Mathbaah Mishr Syirkah Musahamah 1955. Kitāb al-Lumā fī al-Radd alā Ahl al-Zaygh wa al-Bidā. Ed. Hamudah Gharabah. Mathbaah Mishr Syirkah Musahamah 1977. Al-Ibānah an Us}hūl al-Diyānah. Ed. Fawqiyah Husayn Mahmud. Abidin Dar 1990. Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Mus}hallīn. Ed. Muhammad Muhy al-Din Abd al-Hamid. Jilid I. Beirut al-Maktabah al-Ashriyah_____. 2002. Risālah ilā Ahl al-Tsaghīr. Ed. Abd Allah Syakir Muhammad al-Junaydi. al-Madinah al-Munawwarah Maktabah al-Ulum wa Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur Abu Bakr Muhammad bin al-Thayyib bin. 1957. Kitāb al-Tamh}īd. Ed. Richard Joseph McCarthy. Beirut al-Maktabah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Ih}yā’ Ulūm al-Dīn. Jilid IV. Beirut Dar al-Ma bin Furak, Abu Bakr Muhammad bin. 1978. Mujarrad Maqālāt al-Syaykh Abī al-H}asān al-Asyari. Ed. Daniyal Jimarih. Beirut Dar al-MasyriqAl-Juwayni, Imam al-Haramayn. 1969. Al-Syāmil fī Us}ūl al-Dīn. Ed. Ali Sami al-Nasysyar, Fayshal Budayr Awn dan Suhayr Muhammad Mukhtar. Iskandariyah Mansyaah al-Maarif. Vol. 3, No. 1, Februari 2019Tauhid Ahlussunnah wal Jama’ah... 19Al-Qazwini, Abu Abd Allah Muhammad bin Yazid. Sunān Ibn Mājah. Ed. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi. Jilid I. Beirut Dar al-Fikr. Al-Qazwini, Abu Abd Allah Muhammad bin Yazid. Sunān Ibn Mājah. Jilid II. Abu al-Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir. 1988. Al-Nihāyah fī al-Fitān wa al-Malāhīm. Ed. Muhammad Ahmad Abd al-Aziz. Jilid II. Beirut Dar Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaj. Al-Jāmī’ al-S}ah}īh} al-Musammā S}ah}īh} Muslim. Jilid I. Beirut Dar al-Jil dan Dar al-Afaq al-Jadidah. Al-Sijistani, Abu Dawud Sulayman bin al-Asyats. Sunān Abī Dāwud. Jilid IV. Beirut Dar al-Kitab al- Abu Abd Allah Ahmad bin Hanbal. Musnad al-Imām Ah}mad bin H}anbal. Jilid IV. Kairo Muassasah Sad al-Din Masud bin Umar. 1998. Syarh al-Maqashid. Ed. Abd al-Rahman Umayrah. Jilid IV. Beirut Alam Abu al-Qasim Sulayman bin Ahmad. 1415. Al-Mujam al-Awsat}h. Ed. Thariq bin Iwadl Allah bin Muhammad. Kairo Dar al-Haramayn. _____. 1983. Al-Mujam al-Kabīr. Ed. Hamdi bin Abd al-Majid al-Sala. Jilid VIII. Mosul Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam. Al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa. Sunan al-Tirmīdzī. Ed. Ahmad Muhammad Syakir, et al. Jilid V. Beirut Dar Ihya al-Turaats al- Sai, Muhammad Naim Muhammad. 2007. Al-Qa>nūn fī Aqāid al-Firaq wa al-Madzāhib al-Islāmiyyah. Kairo Dar Harras, Muhammad bin Khalil. 1415. Syarh} al-Aqīdah al-Wāsit}hiyyah. Ed. Alawi bin Abd al-Qadir al-Saqqaf. Al-Khabar Dar al-Hijrah li al-Nasyr wa al-Qayyim al-Jawziyyah, Abu Abd Allah Muhammad bin Abi Bakr. 1973. Madārij al-Sālikīn bayna Manāzīl Iyyāka Nabudu wa Iyyāka Nastaīn. Ed. Muhammad Hamid al-Faqi. Jilid III. Beirut Dar al-Kitab al- Taymiyyah, Taqiy al-Din Abu al-’Abbas Ahmad bin Abdul Halim. Minhāj al-Sunnah al-Nabawiyah. Ed. Muhammad Rasyad Salim. Jilid III. Muassasah Qurthubah. TASFIYAH Jurnal Pemikiran IslamMuhammad Imdad Rabbani20_____. 1987. Al-Fatāwā al-Kubrā. Ed. Muhammad Abd al-Qadir Atha dan Mushthafa Abd al-Qadir. Jilid VI. Dar al-Kutub 2005. Al-Ubūdiyah. Ed. Muhammad Zuhayr al-Syawiys. Beirut al-Maktab 1428. Al-Furqān bayna Awliyā’ al-Rahmān wa Awliyā’ al-Syayt}hān. Ed. Abd al-Rahman bin Abd al-Karim al-Yahya. Riyadl Maktabah Dar 1398. Majmū’ al-Fatāwā. dicetak atas perintah Raja Fahd bin Abd al-Aziz. Ed. Abd al-Rahman bin Qasim. Jilid I. 1415. Syarh} al-Aqīdah al-Ashāniyah. Ed. Ibrahim Saiday. Riyadl Maktabah Majmūah al-Rasā’il wa al-Masā’il. Ed. Muhammad Rasyid Ridla. Lajnah al-Turats al- Al-Rādd alā al-Akhnā’i wa Is}tih}bāb Ziyārah Khayr al-Bariyyah. Ed. Abd al-Rahman bin Yahya al-Muallimi al-Yamani. Kairo al-Mathbaah al-Sala 2000. Al-Tadāmmuriyah Tah}qīq al-Itsbāt} lī al-Asmā’ wa al-Sifāt wa H}aqīqah al-Jam bayna al-Qadār wa al-Syar. Ed. Muhammad bin Awdah al-Suudi. Riyadl Maktabah 2001. Qaīdah Jalīlah fī al-Tawas}s}ul wa al-Wasīlah. Ed. Rabi bin Hadi Umayr al-Madkhali. Ujman Maktabah al-Din Itr. 1979. Manhaj al-Naqd fī Ulūm al-H}adīts. Damaskus Dar al-Fikr. ... Penyebutan-penyebutan tersebut dapat diartikan semua umat Islam yang mengikuti jejak Rasulullah SAW dan sahabatnya RA yang merupakan mayoritas umat Islam setiap masa. Rabbani, 2019. ... Rahim Kamarul ZamanMujiburrahman Muhammad SalehMohd Ramizu AbdullahKolej Islam Antarabangsa Sultan Ismail Petra KIAS merupakan sebuah institusi pengajian tinggi swasta yang ditubuhkan pada tahun 1999 di bawah pentadbiran kerajaan negeri Kelantan. Asas penubuhannya didasari matlamat menjadikan negeri Kelantan sebagai pusat perkembangan syiar Islam. Tuntasnya, cetusan penubuhan KIAS merupakan sebahagian agenda pembangunan pendidikan di bawah Dasar Membangun Bersama Islam MBI yang dimasyhurkan pada tahun 1990. Sehubungan dengan itu, makalah ini dikemukakan bagi membincangkan sumbangan dan sokongan alumni KIAS dalam merealisasikan Dasar MBI. Kajian berbentuk kualitatif ini digarap secara deskriptif dengan menggunakan metode analisis kandungan dalam proses analisis. Hasil kajian ini mendapati majoriti alumni KIAS memberikan sokongan terhadap dasar MBI yang menjadi dasar utama pentadbiran kerajaan negeri Kelantan sehingga kini. Selain itu, sebahagian alumni KIAS terbukti berjaya berfungsi memberikan sumbangan terhadap negeri Kelantan dalam pelbagai sektor. Justeru, dapat disimpulkan bahawa graduan keluaran KIAS berjaya memaparkan bukti signifikan kejayaan agenda pendidikan dasar MBI negeri Kelantan. Oleh demikian, kemandirian KIAS berteraskan dasar MBI wajar dibangunkan sebagai model institusi pengajian tinggi Islam terkemuka di Bakr Muhammad bin al-Thayyib binAl-BaqillaniAl-Baqillani, Abu Bakr Muhammad bin al-Thayyib bin. 1957. Kitāb al-Tamh} īd. Ed. Richard Joseph McCarthy. Beirut al-Maktabah Bin FurakAl-Hasan bin Furak, Abu Bakr Muhammad bin. 1978. Mujarrad Maqālāt al-Syaykh Abī al-H} asān al-Asy'ari. Ed. Daniyal Jimarih. Beirut Dar al-MasyriqAbu al-Fida' Isma'il bin 'Umar bin KatsirAl-QurasyiAl-Qurasyi, Abu al-Fida' Isma'il bin 'Umar bin Katsir. 1988. Al-Nihāyah fī al-Fitān wa al-Malāhīm. Ed. Muhammad Ahmad Abd al-Aziz. Reviewer Syaroni As-Samfuriy - favoritefavoritefavoritefavoritefavorite - April 7, 2016 Subject Terjemah Risalah Ahlussunnah wal Jama'ah karya KH. Hasyim versi LTM NU pusat Judul asli Risalah ahl al-Sunah wa al-Jamaah fi hadits al-mauta wa asyrath al-sa’at wa bayan mafhum al-sunah wa al-bid’ah. Penulis Hadzrat al-Syeikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari Judul Edisi Indonesia Risalah Ahlussunah wal Jama’ah Analisis Tentang Hadits Kematian, Tanda-tanda Kiamat, dan Pemahaman Tentang Sunah dan Bid’ah Jakarta 2011, LTM-PBNU vi + 214 hlm ; 11 x 14,5 cm Penerjemah Ngabdurrohman al-Jawi Ditashih oleh KH. Abdul Manan A. Ghani Editor H. Syaifullah Amin Dan Team Santri Ciganjur Setting & lay Out Mustiko Dwipoyono Diterbitkan oleh LTM PBNU dan Pesantren Ciganjur Risalah Ahlussunah Wal Jama’ah iii DAFTAR ISI • Mukadimah…....................................................................1 • PASAL I Sunah dan Bid’ah…...........................................................3 • PASAL II Masyarakat Nusantara Berpegang Pada Madzhab AhlussunahWalJama’ diNusantara & Macam-Macam Ahli Bid’ah Masa Kini.......................12 • PASAL III Khithah Kaum Salaf Shaleh & PenjelasanTentang Sawadul A’dzam di Masa Sekarang & Pentingnya Menganut Salah Satu Empat Madzhab…...................................................23 • PASAL IV WajibTaqlidBagi Orang yangTidak Mampu Ijtihad........28 • PASAL V Berhati-hati Dalam Mengambil Ilmu Agama, dan Berhatihati Terhadap Fitnah Ahli Bid’ah & Orang-orang Munafiq, Serta Para Imam yang Menyesatkan…...........................31 • PASAL VI Hadits dan Atsar Tentang dicabutnya Ilmu, dan Mewabahnya Kebodohan, dan Peringatan Nabi, Bahwa Akhir Zaman Adalah Banyak Kejelekan, dan Mengenai Umatnya yang Akan Mengikuti Bid’ah, serta Keberadaan Agama iv Risalah Ahlussunah Wal Jama’ah yang Hanya Dipegang oleh Segelintir Orang...................37 • PASAL VII Dosa Orang yang Mengajak Pada Kesesatan atau Orang yang Memberi Contoh yang Buruk.................................44 • PASAL VIII Terpecahnya UmatIslam MenjadiTujuh PuluhTiga Golongan, Menjelaskan Teologi Kelompok Sesat, & Golongan yang Selamat Yaitu Ahlussunah wal Jama’ah..................48 • PASAL IX Tanda–Tanda Hari Kiamat…...........................................52 • PASAL X Orang yang Meninggal Dunia Mampu Mendengar, Berbicara, & Mengetahui Orang yang Memandikan, Mengkafani, & Memakamkan Jenazahnya, & Tentang Kembalinya Ruh Kedalam Jasad Setelah Mati…................................72 • PENUTUP…...................................................................83 • Mukadimah Qanun Asasi Rais Akbar Jam’iyah Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asy’ari…........................................84 • Khitah Nahdlatul Ulama................................................112 • Pedoman Berpolitik Warga NU....................................125 • Dalil – Dalil Tentang Tahlilan…...................................128 • Acara Lailatul Ijtima’…................................................134 • Shalawat Badar..............................................................136 • Muqadimah Pembacaan Maulid Diba’i dan Berjanzi...137 • Doa Sayyidul Istighfar...................................................138 Risalah Ahlussunah Wal Jama’ah v • Doa Setelah Akad Nikah...............................................139 • Shighat Ijab Kabul.........................................................140 • Khutbah Nikah..............................................................143 • Doa Setelah Sholat Wardu.............................................147 • Whirid Setelah Sholat Fardu.........................................156 • Talqin Mayit..................................................................161 • Istighatsah......................................................................167 • Bacaan Ratib al-Hadad..................................................176 • Doa Tahilil.....................................................................180 • Tahlil..............................................................................189 • Tabarak..........................................................................193 • al-Waqiah.......................................................................199 • al-Rahman......................................................................204 • Yasin..............................................................................212 • Hadlarah........................................................................215

buku ahlussunnah wal jamaah pdf