bentuk atap tumpang pada masjid merupakan hasil akulturasi dalam bidang
ContohAkulturasi Budaya Masyarakat di Nusantara dengan Ajaran Islam di Indonesia. Beberapa contoh tradisi yang merupakan bentuk akulturasi Islam dengan budaya lokal di Nusantara, khususnya di Jawa antara lain tradisi kenduri atau kenduren untuk mendoakan arwah orang yang sudah meninggal dunia. Kenduri ini sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha di
Masjidini merupakan hasil perpaduan antara islam-jawa dengan hindu-buddha yang terletak pada bentuk bangunan utama masjid. Dimana ada tujuh lambang teplok dengan atap berbentuk tumpang tiga. Akulturasi dalam bidang ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari yang mana sangat mudah untuk kita amati dan pahami bersama. Di era
Pada perkembangan budaya Islam di Indonesia, terjadi akulturasi budaya pra-Islam dan budaya Islam dalam berbagai bentuk, antara lain seni bangunan, seni ukir atau seni pahat, kesenian, seni sastra dan kalender. Mengutip Sumber Belajar Kemdikbud RI, seni bangunan dan arsitektur Islam di Indonesia bersifat unik dan akulturatif.
Bentukbangunan Masjid yang merupakan hasil akulturasi memiliki ciri ciri. Bentuk bangunan masjid yang merupakan hasil. School State University of Yogyakarta; Course Title EDU KTF6204; Uploaded By UltraValor35. Pages 44 This preview shows page 16 - 18 out of 44 pages.
Sedangkanbentuk akulturasi Hindu Buddha dan Islam dari masjid ini adalah sebagai berikut. Atap tumpang mirip punden berundak yangmenunjukan hasil budaya lokal praaksara di Nusantara. Atap tumpang ganjil yang sama dengan tingkat bangunan pura Hindu berjumlah ganjil, yaitu 3-11 tingkat.
Site De Rencontre Gratuit Le Plus Efficace. - Islam masuk ke Jawa melalui perdaganagn di kota-kota pelabuhan. Islam mulai dikenal di Pulau Jawa diperkirakan pada abad ke- 11 hingga 12 Masehi. Persebaran agama Islam di Pulau Jawa tidak bisa lepas dari peran Wali Songo. Ketika Sunan Kalijaga mengembangkan Kota Demak menjadi pusat perkembangan agama Islam, Sunan Kudus memutuskan berpisaj dan menyebarkan ajaran Islam di Kota dengan berkembangnya Kota Demak, Kota Kudus juga berkembang. Ajaran Islam diterima dengan mudah oleh masyarakat karena memberikan toleransi terhadap kebudayaan Hindu-Buddha dan animisme. Dalam buku Sejarah Peradaban Islam di Kudus 204 oleh Roes, Kota Kudus merupakan ibukota Kabupaten Kudus dengan luas sekitar 422,21 kilometer persegi. Baca juga Masjid Agung Banten, Materi Belajar dari Rumah TVRI 27 April SMP Berdirinya Masjid Menara Kudus tidak lepas sari peran Sunan Kudus sebagai pendiri dan pemrakarsa. Sunan Kudus memiliki cara yang bijaksana dalan Kudus menggunakan pendekatan fabian, yaitu menyesuaikan diri, menyerap, bersikap pragmatis, dan menempuh cara dengan melakukan kompromi parsial dengan semangat toleransi terhadap nilai-nilai budaya warga setempat yang kebanyakan memeluk agama Hindu. Salah satu sikap toleransi yang diajarkan Sunan Kudus yaitu pantang menyembelih sapi dan memakan dagingnya. Hal tersebut dilakukan untuk menghormati warga masyarakat yang memelik agama Hindu. Bahkan sampai saat ini,masyarakat Kudus mengganti daging sapi dengan daging kerbau atau ayam. Baca juga Peninggalan Sejarah Kerajaan Cirebon Bentuk akulturasi budaya Masjid Menara Kudus tampak berbeda jika dibandingkan dengan masjid-masjid pada umumnya. Keunikan tersebut terlihat dari bangunan menara yang ada di sebelah tenggara masjid. Menara yang tersusun dari batubata merah tersebut meyerupai Nale Kulkul atau bangunan penyimpan kentongan di Bali. Melalui karakteristik inilah, Masjid Menara Kudus mencerminkan sikap tenggang rasa atau toleransi yang sudah ada sejak dahulu.
Umat muslim mengikuti pengajian Ramadan di serambi Masjid Agung Demak, Bintoro, Demak, Jawa Tengah, Ahad 20/5. JAKARTA - Para ulama penyebar tauhid Islam-Red di tanah Jawa memiliki kemampuan untuk mengharmonisasi kehidupan sosial di tengah masyarakat Hindu yang begitu dominan, ketika itu. Keunikan akulturasi semacam ini, setidaknya juga berakar pada Masjid Menara, Kudus, Kabupaten Kudus, yang terletak sekitar 35 kilometer sebelah timur kota bentuk atap berupa tajug tumpang tiga berbentuk segi empat, atap Masjid Agung Demak lebih mirip dengan bangunan suci umat Hindu, pura yang terdiri atas tiga tajug. Baca Keunikan Arsitektur Masjid Agung Demak Bagian tajug paling bawah menaungi ruangan ibadah. Tajug kedua lebih kecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Sedangkan tajug tertinggi berbentuk limas dengan sisi kemiringan lebih pakar arkeolog menyebutkan, bentuk bangunan seperti ini dipercaya juga menjadi ciri bangunan di pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Namun, penampilan atap masjid berupa tiga susun tajug ini juga dipercaya sebagai simbol Aqidah Islamiyah yang terdiri atas Iman, Islam, dan Ihsan.
JAKARTA, - Sejarah dan budaya di Indonesia punya kisah yang panjang. Perpaduan dan akulturasi budaya mewarnai berbagai hal di Indonesia, termasuk arsitektur bangunan, salah satunya masjid yang ada di Tanah Air menunjukkan hasil akulturasi di antaranya adalah masjid-masjid di bawah ini. Berikut 4 masjid yang menunjukkan akulturasi budaya dalam Menara Kudus DWI PUTRANTO Masjid Menara Kudus di Kelurahan Kauman, Kecamatan Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Rabu 30/5/2018 namanya, masjid ini terletak di Kudus, Jawa yang dibangun pada 1549 ini juga disebut sebagai Masjid dalamnya terdapat makam dari Sunan Kudus, oleh karenanya masjid ini kerap dijadikan sebagai tujuan juga Menara Kudus Miliki Museum Sunan Kudus Tak seperti masjid kebanyakan yang bergaya Timur Tengah, masjid ini menampilkan corak kebudayaan pra-Islam seperti Jawa, Hindu, dan Budha. Hal itu terlihat dari menara dan gapura yang ada di sekitar Kudu dibangun menggunakan bata merah tanpa perekat. Menara ini terdiri dari 3 bagian, yakni kaki, badan, dan kepala, yang menunjukkan corak Hindu-Majapahit yang ada di Jawa.
Bentuk atap tumpang pada masjid merupakan hasil akulturasi dalam bidang? politik seni sastra seni bangunan filsafat seni rupa Jawaban yang benar adalah C. seni bangunan. Dilansir dari Ensiklopedia, bentuk atap tumpang pada masjid merupakan hasil akulturasi dalam bidang seni bangunan. [irp] Pembahasan dan Penjelasan Menurut saya jawaban A. politik adalah jawaban yang kurang tepat, karena sudah terlihat jelas antara pertanyaan dan jawaban tidak nyambung sama sekali. Menurut saya jawaban B. seni sastra adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut lebih tepat kalau dipakai untuk pertanyaan lain. [irp] Menurut saya jawaban C. seni bangunan adalah jawaban yang paling benar, bisa dibuktikan dari buku bacaan dan informasi yang ada di google. Menurut saya jawaban D. filsafat adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut sudah melenceng dari apa yang ditanyakan. [irp] Menurut saya jawaban E. seni rupa adalah jawaban salah, karena setelah saya coba cari di google, jawaban ini lebih cocok untuk pertanyaan lain. Kesimpulan Dari penjelasan dan pembahasan serta pilihan diatas, saya bisa menyimpulkan bahwa jawaban yang paling benar adalah C. seni bangunan. [irp] Jika anda masih punya pertanyaan lain atau ingin menanyakan sesuatu bisa tulis di kolom kometar dibawah.
Masjid Al-Anwar pada tahun 1930. Sumber KITLV, Digital Collections Universiteit membahas mengenai suatu bangunan yang merupakan bagian dari tujuh unsur kebudayaan universal cultural universals manusia, dimana aspek ini merupakan bagian dari sistem peralatan hidup dan teknologi yang dibutuhkan oleh setiap manusia di dunia ini. Pada dasarnya, arsitektural merupakan susunan ruang yang dirancang untuk suatu kegiatan yang di integrasikan dengan harmonis ke dalam sebuah komposisi yang padu. Selain itu menurut Eko Budihardjo, arsitektur merupakan sebuah bangunan yang sistematis, indah, anggun, konteks wilayah Jakarta yang dahulunya bernama Batavia, munculah beragam kelompok masyarakat dengan beragam etnis yang saling berbaur antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing etnis tersebut memiliki kebudayaan yang khas antara satu dengan yang lainnya. Namun dalam perkembangan waktu, masyarakat yang tinggal di Batavia secara perlahan-lahan saling melebur menjadi satu kesatuan yang membentuk kebudayaan baru, termasuk dalam hal ini ialah teknik dalam membangun suatu Pembangunan Masjid Jami’ Al-AnwarMasjid Jami’ Al-Anwar yang terletak di Jalan Tubagus Angke Kampung Rawa Bebek, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Kota Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta ini menyimpan begitu banyak kisah sejarah yang menjadikan masjid ini sebagai lambang akan keberagaman, keharmonian, dan keanggunan corak arsitekturnya. Pada awalnya, wilayah yang sekarang menjadi tempat dibangunnya masjid ini merupakan sebuah Kampung Bali, penamaan ini didasarkan atas mayoritas masyarakat yang tinggal kala itu merupakan masyarakat Bali, baik yang berstatus budak maupun yang berstatus sebagai orang merdeka vrijmen.Hal ini tidak dapat dipungkiri, karena pada abad ke-17 dan 18 pemerintah Kolonial VOC membuat pemisahan atau segregasi permukima berdasarkan asal-usul tempat tinggal mereka. Namun demikian, pada periode selanjutnya usaha VOC dalam melakukan pemisahan kampung berdasarkan etnis tidak dapat dipertahankan. Hal ini karena masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut tidak hanya berinteraksi dengan berlandaskan hubungan antar etnis, namun lebih berdasarkan pada kepentingan sosial-ekonomi dan kedekatan geografis. Dalam hal ini, identitas etnis dalam masyarakat di Batavia tidak pernah terartikulasi dengan jelas. Dengan demikian, terjadilah pembauran antara masyarakat kampung Bali yang beragama Hindu dengan masyarakat lainnya. Dengan intensifnya pergaulan maupun interaksi yang dilakukan oleh masyarakat Bali ini, maka terjadilah proses perkawinan antara penduduk laki-laki dengan para budak wanita dari etnis lain, termasuk dari masyarakat Bali. Di samping itu banyak pekerja tinggal di lahan garapannya di luar kampung, dimana orang Bali, Tionghoa, dan Jawa hidup tidak terpisah. Islamisasi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa maupun etnis lain terhadap masyarakat Hindu Bali juga mempercepat proses pembauran sehingga dalam waktu yang tidak cukup lama banyak masyarakat di Kampung Bali yang memeluk Agama Jami’ Al-Anwar dibangun pada tahun 1761. Terdapat perbedaan mengenai siapa yang membangun masjid ini. Pertama, menyatakan bahwa masjid ini dibangun oleh masyarakat Bali yang menikah dengan orang Tionghoa, dan arsitek yang mengerjakan desain masjid ini ialah seorang Tionghoa yang bernama Syeikh Liong Tan. Kedua, berpendapat bahwa masjid ini dibangun oleh seorang perempuan Tionghoa bernama Ny. Tan Nio yang pada saat itu memilih untuk masuk Islam11 dan bersuamikan orang ini berdasarkan bukti bahwa di belakang masjid ini terdapat makam seorang perempuan Tionghoa. Masuk Islamnya masyarakat Tionghoa tidak mengherankan karena setelah adanya peristiwa Geger Pecinan pada tahun 1740 banyak orang Tinghoa yang kemudian masuk Islam karena untuk mencari keamanan dari peristiwa genosida kala Arsitektur Masjid Jami’ Al-AnwarAkulturasi pada bidang arsitektur menurut Ashadi terjadi dalam tiga keadaan yaitu, adaptasi, adopsi, dan sinergi. Proses adaptasi terjadi jika bentuk arsitektur lokal dominan terhadap bentuk arsitektur non-lokal, apabila yang terjadi adalah sebaliknya maka prosesnya ialah adopsi. Dan jika keduanya dalam keadaan seimbang maka yang terjadi ialah sinergi. Apabila kita perhatikan secara mendetail pada masjid yang berukuran 12x12 meter ini terdapat banyak sekali perpaduan yang saling melengkapi satu sama lainnya secara seimbang dan saling ialah terdapat gaya atau corak arsitektur Jawa, Bali, Tionghoa, dan Belanda. Semua unsur-unsur tersebut merupakan bukti bahwa masyarakat Kampung Bali pada saat itu sudah mengalami pembauran atau percampuran dengan masyarakat lainnya. Dari bagian luar bangunan eksterior terdapat atap yang berbentuk limasan dan bertumpeng dua punden berundak dimana struktur Tionghoa terlihat pada bagian detail atap tersebut. Keempat jurai pada kontruksi atap tumpeng ini bentuk keduanya tidak lurus, melainkan melengkung. Bentuk jurai melengkung ini jelas mendapat pengaruh kontruksi dari bangunan tradisional Tionghoa. Selain itu terdapat juga struktur penyangga rangka atap yang terbuka di bagian tengah-tengah antara rangka atap bawah dengan rangka atap atas yang mengingatkan pada arsitektur Tionghoa, yakni bernama masjid terdapat hiasan berbentuk sarang lebah dan mustoko yang merupakanbagian dari corak arsitektur Jawa. Sumber Koleksi ujung keempat sudut atap baik pada atap tumpeng pertama ataupun atap tumpeng kedua terdapat hiasan kayu berukir punggel yang mencuat ke atas. Hiasan ini banyak dijumpai dalam bangunan tradisional Bali terutama pada bangunan pura Hindu. Dan pada bagian bawah atap terdapat hiasan berbentuk sarang lebah tawon atau nanas-nanasan dan pada puncak atapnya terdapat kemuncak atau mustoko. Kedua hiasan ini banyak ditemukan pada bangunan tradisional masyarakat Jawa. Selain corak itu, terdapat juga pengaruh Belanda dalam eksterior bangunan masjid ini, dimana pintu utama yang simetris terbuat dari kayu yang megah, tinggi, serta lebar ini sangat mirip dengan kediaman masyarakat Belanda di Kali Besar. Pemilihan ukuran pintu ini didasarkan pada keperluan untuk mengalirkan udara sejuk kedalam bangunan masjid. Selain itu terdapat juga lima anak tangga yang menyerupai bangunan Gedung Arsip Nasional yang berarsitektur Belanda. Penempatan ukiran pada pintu bagian atas dan kusen pintu serta rangkaian anak tangganya juga sangat mirip dengan gerbang bangunan pura di ukiran a jour’ relief pada bagian pintu utama yang merupakanperpaduan dari corak Bali dan Belanda. Sumber Koleksi itu ornamen pada jendela masjid yang berupa tiang kayu bubut sangat mirip dengan balkon pada bangunan Belanda di Batavia. Keduanya berakulturasi dengan kebudayaan Jawa. Hal ini terlihat jelas dari adanya ukiran hasil pahatan a jour’ relief sulur tumbuh-tumbuhan di bagian atas pintu yang berbentuk bidang segi empat. Corak pahatan yang menggambarkan ornamen tumbuhan merupakan bagian yang sering ditemukan pada arsitektur Islam, hal ini karena Islam melarang adanya ornamen hewan dan manusia pada bangunan tempat ibadah. Menurut Djoko Soekiman, pada tahun 1730-an sepertiga dari daun pintu sebuah bangunan mewah termasuk masjid dipahat dengan a jour relief yang ruangan utama masjid pada ruangan ini terdapat empat tiang atau sering disebutsebagi saka guru. Sumber Koleksi arsitektur juga terletak di bagian dalam interior masjid. Tepat di bagian tengah bangunan terdapat empat buah tiang saka guru yang menyangga atap tumpang dua. Bentuk atap tumpang dan penggunaan saka guru dalam kontruksinya melambangkan cerminan dari corak arsitektur tradisional Jawa. Terdapat filosofi dibalik penggunaan saka guru pada masjid ini, bahwa keempat tiang masjid melambangkan empat sahabat Nabi Muhammad SAW. Pada bagian atas ruang yakni tepatnya di antara keempat saka guru ditutup dengan papan kayu dan di tengahnya digantungkan lampu hias. Papan kayu tersebut penuh dengan lukisan kaligrafi dengan tulisan Allah, Asmaul Husna, serta dinding sisi barat ruang utama terdapat mihrab dan mimbar. Pada bentuk mihrab berupa dinding yang menjorok ke dalam, sedangkan bentuk mimbar berupa dinding yang menjorok ke luar. Dalam bentuknya mihrab memiliki dua pilar yang tertanam di dinding kiri dan kanan. Di atas pilar mihrab terdapat lengkungan setengah lingkaran yang masing-masing bertumpu pada pilar di kanan dan kirinya. Selain itu pada bagian tengahnya terdapat semacam mahkota yang bertumpu diatas dua pilar. Corak ini merupakan bagian dari corak arsitektur kolonial dan mimbar masjid yang merupakan corak struktur arsitektur Belanda. Sumber Koleksi itu dalam mimbarnya terbentuk dua pilar di kanan dan kirinya yang hampir menyentuh bagian plafon. Selain itu di sisi dalam pilar mimbar terdapat bentuk yang hampir sama dengan bagian mihrab. Pada bagian mimbar pun juga merepresentasikan corak arsitektur Kolonial Eko. Percikan Masalah Arsitektur Perumahan Kota. Jogjakarta Gajah Mada University Press. Pedoman Umum Merancang Bangunan. Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama. S. Peninggalan Situs dan Bangunan Bercorak Islam di Indonesia. Jakarta PT Mutiara Sumber Widya. 1999Mulyana, Deddy & Rakhmat Jalaluddin. Komunikasi Antarbudaya. Bandung PT Remaja Rosdakarya. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta Rineka Cipta. 2009Blackburn, Susan. Jakarta Sejarah 400 Tahun. Depok Maasup Jakarta. Hendrik E. Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII. Depok Maasup Jakarta. 2012.
bentuk atap tumpang pada masjid merupakan hasil akulturasi dalam bidang